Urbanisasi Gagal di Kota Satelit

Urbanisasi Gagal di Kota Satelit

Beijing - Cui Xinzi sudah lama membuka kios jualan jaket kulit di satu-satunya sentra perbelanjaan di Kota Baru Tieling, di timur laut China. Tapi berusaha di kota satelit yang gres berdiri selama empat tahunan itu tak membuatnya betah dan menetap di sana.

Xinzi lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah lamanya di kota lama Tieling. Dia sama sekali tak berminat membeli atau menyewa apartemen yang bertebaran di kota gres Tieling. Selama empat tahun terakhir, Xinzi pulang dan pergi dengan transportasi publik.

Perempuan 30 tahunan ini bahwasanya berniat juga tinggal hingga pensiun di Kota Baru Tieling. Masalahnya, beliau ragu populasi di kota gres itu akan bertambah. Tieling ketika ini lebih tampak menyerupai \\\'kota hantu\\\'.

“Saya butuh waktu yang lebih lama untuk memikirkannya (menetap atau tetap tinggal di kota lama),” kata Xinzi.

Kota Baru Tieling diluncurkan pembangunannya pada 2005. Pembangunannya yaitu bab dari rencana besar pemerintah provinsi Liaoning dan rencana besar pemerintah China yang berjulukan urbanisasi.

Meski gres rencana, ketika itu telah terjadi perubahan pesat di sekitar Tieling dan enam kota lain. Yakni dengan dibangunnya jalan tol dan jalur kereta api cepat yang menghubungkan tempat itu dengan Shenyang, sebuah kota metropolis yang mampu ditempuh selama 90 menit di selatan Tieling.

Pada 2009, pengurukan lahan berair selesai, bersamaan dengan selesainya infrastruktur baru, kanal-kanal, kantor pemerintahan, dan beberapa bangunan apartemen. PBB menawarkan predikat Tieling sebagai “Tempat tinggal yang dibangun dengan baik dan modern”.

Idenya, bahwa perusahaan-perusahaan akan pindah ke kota-kota satelit lantaran harga tanah dan gaji buruh yang lebih murah. Kota Baru Tieling diperkirakan akan dihuni sekitar 60 ribu warga gres pada 2010 dan akan naik tiga kali lipat.

Apa lacur, rumah-rumah dan kamar-kamar apartemen tak ada yang menghuni. Begitu juga tempat teknologi info diciptakan untuk melayani jasa back-office bagi perusahaan keuangan, menyerupai sentra data.

Harapannya, tempat itu akan ditinggali 15.000-20.000 orang pada final 2013. Tapi yang terjadi bikin miris. Kawasan seluas itu hanya diisi dua perusahaan, salah satunya yaitu bank, dengan karyawan tak lebih dari 20 orang.

Kawasan lain yang dirancang sebagai area logistik tak lebih baik. Meski Tieling yang berada bersahabat dua jalan bebas hambatan besar dan sebuah pelabuhan dengan jalur kereta api ke Shenyang dan tempat lain di timur laut negeri tirai bambu itu, area itu tetap sepi. Keramaian di Shenyang tak menular ke sana.

Pemerintah setempat bukannya tak berusaha. Dengan memindahkan kantor pemerintahan ke Kota Baru Tieling, harapannya akan mendorong pertambahan penduduk. Tapi, banyak pegawai kantor pemerintahan yang lebih memilih menjadi kaum komuter.

Pemerintah juga menutup beberapa sekolah di kota lama. Menurut Sun Baocai, pejabat eksekutif Biro Pendidikan Tieling, pemindahan itu melibatkan 50 ribu pelajar dari banyak sekali tingkat pendidikan. Harapannya, orang bau tanah para pelajar ikut pindah ke bersahabat sekolah.

Lantaran minimnya jasa pelayanan dan sedikitnya komunitas di kota baru, para orang bau tanah dari ribuan siswa itu emoh untuk menetap di sana.

Padahal, pemerintah setempat masih berniat menambah bangunan-bangunan gres di Tieling dengan anggaran sebesar US$ 1,3 miliar pada tahun ini. Termasuk galeri seni, gymnasium, dan bak renang indoor. Akankah properti gres ini menarik penduduk? Waktu yang akan menjawabnya.


(DES/DES)

Comments

Popular posts from this blog

Bos Properti Berdarah RI Ini Kembali Jual Proyek Apartemen Mewah Rp 2 T di Sydney

Dalam 2 Jam, 98 Unit Rumah Rp 900 Juta di Serpong Ludes

Gandeng Airport Terbaik Dunia, AP I Ingin Bandaranya Sekelas Singapura